RAHSA : Berdamailah dengan Rahsa Tunggal.


TOLAK kenaikan BBM !!!


Tuesday 29 January 2008

Pemuda dan Pornografi

Sebuah projek penghancuran mental

Generasi Penerus Bangsa

Pengantar

Fenomena Pornografi dan pornoaksi pada masyarakat kita terkesan sudah menjadi sesuatu yang sangat lumrah dan wajar, realitas tersebut terjadi begitu lembut dan sistematis merasuk kedalam kultur masyarakat. Sebagai salah satu contoh dalam sebuah Rukun Warga (RW) atau Rukun Tetangga (RT) ketika hendak melaksanakan sebuah pagelaran atau acara-acara kerakyatan, kita ambil contoh acara 17 agustus-an, rasa-rasanya tidak lengkap ketika tidak mengundang satu group orkestra dangdut atau organ tunggal dangdut yang nota bene sarat dengan “aksi panas” seorang biduan saat beraksi diatas panggung.

Memang dahulu pada tahun 70-an sampai tahun 80-an realitas pornografi dan pornoaksi jarang didapati, karena pada dekade tersebut sistem nilai dan norma-norma[1] pada masyarakat (adat ketimuran) apalagi di daerah pedalaman dan perkampungan masih sangat kuat mengakar. Akan tetapi bukan berarti aksi-aksi panas seorang biduan pada saat itu tidak ada, aksi panas tersebut tetap ada, namun aksi ersebut lebih tertutup dan terbatas yakni hanya untuk kalangan-kalangan tertentu saja (missal, untuk para pejabat, orang berduit, dan kalangan dewasa). Fenomena tersebut terjadi karena memang sistem nilai pada masyarakat masih sangat ketat dan kuat, sehingga aksi-aksi panas yang biasa diperagakan oleh “biduwanita”[2] masih dipandang sebagai sesuatu yang “tabu”, tidak wajar atau tidak biasa.

Secara Kultural masyarakat Bumi Nusantara (meski didaerah-daerah tertentu tidak) memang sudah akrab dengan nuansa erotisme, hal terseut bisa kita lihat pada sisa-sisa kultur masyarakat Indonesia pada umumya, seperti jaipongan dalam kultur budaya Jawa Barat -khususnya Pasundan- yang terkenal dengan goyang karawangnya, Jawa (mataram) , Bali dan tarian-tarian daerah lainnya yang tersebar diberbagai macam suku bangsa. Ini merupakan salah satu bukti bahwa memang masyarakat Indonesia sejak abad ke-15 jamannya kerajaan-kerajaan sudah akrab dengan nuansa erotis. Akan tetapi, yang menjadi titik tekan dan digaris bawahi disini adalah kesenian atau kultur tersebut tidak terbuka untuk khalayak umum seperti halnya sekarang, yang memang terbuka dan dapat dikonsumsi oleh masyarakat luas, baik orang dewasa atau bahkan dibawah umur sekalipun (dibawah 17 tahun).

Dari realitas diatas, bisa ditarik kesimpulan bahwa pada sistem sosial dan sistem kultural pada masyarakat kita telah terjadi pergeseran nilai yang cukup drastis, hanya dengan kurun waktu 20 tauan saja, maka nilai-nilai leluhur (ajaran nenek muyang) dan nilai agama telah digeser oleh budaya baru yang mengatasnamakan kebebasan dan Hak Asasi Manusia (HAM).

Secar logika, sistem nilai dan norma akan mempengaruhi pola (konstuksi) pikiran, seperti halnya kompor minyak digantikan dengan kompor gas. ketika pergeseran tersebut telah terjadi pada sistem kultural masyarakat maka dapat dipastikan pola pikir dan nilai-nilai yang berlaku pun akan berubah dan digeser oleh konstruksi berfikir baru yang tanpa disadari kita mengagung-agungkannya. Dari dasar pemikilan ini dapatlah kita korelasikan kepada sistem budaya lokal (local culture) masyarakat kita, yang dahulunya erotisme, pornografi dan porno aksi masih menjadi sesuatu yang tabu dan perbuatan yang tidak senonoh ketika di tarik kepermukaan maka sekarang tidak lagi, bahkan dapat diakses dan dikonsumsi oleh berbagai semua kalangan baik yang tua maupun muda bahkan manula sekalipun. Ketika dahulu sistem nilai (value) dan etika benar-benai dijunjung tinggi maka sekarang nilai dan norma tersebut telah digantikan oleh “atas nama” kebebasan serta hak asasai manusia yang nyatanya masih menjadi perdebatan yang belum pernah tuntas sampai sekarang,

Pada kesempatan ini penulis tidak akan banyak membahas pemasalaan kebebsan atau HAM, sebab permasalahan tersebut akan dibahas oleh penulis ain dalam buku ini. Pada kesempatan ini penulis akan memcoba mempertajam pembahasan keranah pemuda dan kulur budaya baru (gaul), yang selanjutnya erat berkaitan dengan pornografi dan pornoaksi.

Sebelum kita masuk kepada pembahasan kultur pemuda pada waktu kekinian, alangkah baiknya kita mengulas bagaimana budaya tersebut bisa masuk dan menjamur pada masyarakat, terutama kaum muda indonesia.

Sudah menjadi konsekwensi logis bagi satu kebudayaan untuk meningkat menjadi sebuah peradaban yang akan diakui dunia, maka kebudayaan tersebut haruslah diaplikasikan dan dilakukan oleh masyarakat pada volume yang besar (sebagian besar masyarakat dunia mengaplikasikan kebudayaan tersebut). Berangkat dari sebuah eksisensi kebudayaan yang berujung pada peradaban maka masing-masing kebudayaan haruslah berlomba untuk mendominasi kebudayaan-kebudayaan lain (baik dalam sebuah teritori kebangsaaan atau kenegaraan) sehingga kebudayaan tesebut diakui oleh mayoritas masyarakat dunia. Oleh karena itu dalam persaingan antar budaya, masing-masing kebudayaan akan banyak menggunakan berbagai macam cara supaya kebudayaan tersebut dapat diakui dan diaplikasikan oleh masyarakat lain. Terdapat berbagai macam metode dan cara agar sebuah kebudayaan diterima dan diadopsi oleh sebuah masyarakat, dan salah satunya adalah melalui Media, fashion, dan life stile. Ketika kebudayaan tersebut sudah masuk dan mengakar, sehingga menjadi sebuah pola pikir dan pola dalam bertingkah laku, maka kebudayaan tersebut telah berhasil menggeser kebudayaan lama[3]. Dengan berkedok Globalisasi, sebuah budaya masuk dan mulai menancapkan akarnya di tanah-tanah negara berkembang, dan dengan isu globalisasi pula, yang nota bene membawa agenda budaya (pola pikir, gaya hidup, ekonomi maupun politik) mereka berusaha mendominasi kebudayan-kebudayaan lainnya sehingga budaya tersebut pudar dan yang ada hanya budaya baru yang berkehendak menjadi sebuah peradaban yang diakui dunia.

Tak ayal pula kebudayaan dijadikan alat kolonialisasi ala baru, ketika dahulu kolonialisme datang dengan senjata (senapan) maka sekarang kolonialisme datang dengan gaya baru dan sejata baru, yakni life stilye, ekonomi, budaya dan politik, lebih parahnya lagi kolonialisme gaya baru ini masuk dan menjamur secara tidak disadari, dan secara tidak sadar pula kita mulai tercerabut dari akar budaya, meminjam bahasanya Pramoedya Anantatoer “Pikun akan budaya sendiri”, sehingga yang terjadi adalah kita mulai ketergantungan (adict) dengan sesuatu yang sebenarnya bukan bagian dari diri kita.

Sang ploklamator (Soekarno) telah mengungkapkan dengan tegas bahawa yang harus dibangun pada bangsa ini adalah karakter (caracter bulilding), ketika sebuah bangsa tidak mempunya kejelasan atas karakter, maka bangsa tersebut akan mudah untuk diombang-ambing serta dipermainkan oleh bangsa lain. Maka jelaslah apa yang telah terjadi sekarang, bangsa kita dengan mudahnya di permainkan oleh bangsa lain terutama oleh negara-negara maju seperti Amerika, Eropa, kita juga didiperolokkan oleh negara berkembang lainnya seperti Singapura dan Malaysia. Belum lama ini indonesia dipermainkan oleh Singapura melalui perjanjian ekstradisi, kemudian oleh malaysiya juga cukup sering dilecehkan, pertama permasalahan teritori negara di kalimantan dan kedua permasalahan hak cipta lagu daerah. Dari kedua permasalahan diatas saja bangsa ini tidak sangup menyelesaikannya, belum lagi permasalahan-permasalahan lainnya yang memang sangat merugikan bangsa sini, baik dari segi materil maupun imateril (kehormatan).

Permasalahan karakter kebangsaan merupakan sesuatu yang fundamental, karena aspek primer ini akan melingkupi banyak hal terutama pola pikir dan pola dalam bertindak. Menyangkut permasalahan budaya hedon yang selama ini menjamur pada mental kaum muda adalah imbas atau ekses dari ketidak jelasannya karakter kebangsaaan yang seharusnya ditanamkan sejak dini. Sungguh ironis, bangsa yang dahulu dikatakan besar[4] serta kaya dengan kearifan lokal, kini sudah hancur dan mulai tergilas oleh sejarah. Mental-mental hedon inilah yang akan menimbulkan ekses buruk bagi keteguhan mental terytama mental kebangsaan, yang selanjutnya ia menjadi faktor utama merebaknya pornogerafi dan pornoaksi pada kalangan muda.

Jadi jelaslah, bahwa Pornografi dan Pornoaksi bukanlah akar dari permasalahan yang melanda bangsa ini terutama kaum pemuda. Yang menjadi permasalahan fundamental dan mendasar pada bangsa ini adalah permasalahan karakter kebangsaan yang sampai saat ini masih belum selesai. Dan yang mempunyai peran penting dan besar terhadap pembangunan karakter kebangsaan ini tentunya adalah pihak Negara (pemerintah), mengingat Negara sebagai penyelenggara pemerintahan, negaralah yang bertanggungjawab terhadap mundur dan majunya kebudayaan sebuah bangsa dan negara pulalah yang berperan penting terhadap terwujudnya sebuah good governance, yang syarat akan kedamaian, ketentraman dan kesejahteraan.

Berangkat dari permasalahan fundamental ini; yakni karakter kebangsaan, maka ketika karakter kebangsaan belum selesai, dalam artian tertanam dan mengakar pada setiap individu dan masyarakat indonesia maka akan sangat memudahkan masuknya struktur budaya baru karena masyarakat kita tidak lagi mempunyai sistem pengamanan diri (scurity system) dalam menyaring (counter) berbagai macam sistem kebudayan baru yang masuk, dan pada akhinya menggeser budaya lama yakni sistem budaya lokal dan kearifan lokal.

Dapat kita lihat sekarang, kultur western (barat) seperti hedonisme, gaya hidp bebas yang berkedok Globalisasi mulai mewarnai dan menggeser struktur kebudayaan lama. inilah penyebab utama bangsa indonesia khususnya para pemuda tidak lagi mempunyai visi kedepan, terutama visi pembangunan yang akan mengarahkan bangsa ini kearah kemajuan yang lebih baik.

Ketercerabutan sebuah kebudayaan akan sangat berbahaya bagi sebuah bangsa, karena ketika akar budaya telah tercerabut atau tergeser oleh sistem budaya baru maka dapat dipastikan masa depan bangsa tersebut tidak akan bertahan dalam menahan gempuran dan serangan arus global, terutama negara yang memang mempunyai maksud dan tujuan mendominasi dan mengeksploitasi bangsa ini. Maka jelaslah, identitas budaya sebagai karakter kebangsaan adalah harga mati bagi keutuhan dan keberlangsungan NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia).

Ibu Kota Sebagi Pintu Gerbang Utama

Ibu kota adalah pusat dari semua aktifitas, baik ilmu pengetahuan, ekonomi, budaya dan politik, dimana akulturasi berbagai macam budaya berinteraksi dan bersinggungan satu sama lain. Ibu kota juga identik dengan kemoderenan, dimana sistem sosial serta gaya hidup masyarakatnya dikatakan maju dan berkembang, fenomena ibu kota yang digambarkan dengan kemawahan, kemeriahan dan mimpi-mimpi kesenangan lainnya, mejadi daya tarik bagi masyarakat di luar kota untuk berbondong-bondong memasuki ibu kota tentunya dengan berbagai macam faktor dan alasan, terutama ekonomi (mudah mencari pekerjaan), akan tapi ada juga orang yang beralasan hanya ingin dibilang gaul atau dibilang modern semata.

Ada beberapa faktor kenapa Ibu Kota dikatakan sebagai pusat kemodernan dan kemajuan, pertama, karena dia adalah pusat dari aktifitas pemerintahan, kedua, karena dia sebagai pusat pemerintahan maka ia juga menjadi pusat (gerbang utama) masuknya berbagaimacam kepentingan, baik ekonomi, budaya, politik dan lain sebagainya, termasuk juga arus teknologi dan informasi dari luar negara. Ditengan aktifitas dan arus global tersebut maka terjadilah pergesekan dan persinggungan budaya, anatra budaya lokal dan budaya luar sehingga menhasilkan akulturasi antar budaya.

Realitas yang terjadi khususnya di ibu kota dan umumnya di indonesia sekarang bukan akulturasi budaya akan tetapi lebih dekat kepada doktrinasi atau ekspansi budaya, karena ketika dikatakan akulturasi budaya adalah ketika ada percampuran (saling mempengaruhi) antara budaya lokal dengan budaya baru yang datang sehingga menciptakan ciri khas baru dalam sistem budaya tersebut. Dan realitas yang terjadi sekarang adalah ketika kita tercerabut dan mulai pikun dengan budaya kita sendiri dan sistem budaya luar masuk maka yang terjadi adalah dokrtinasi budaya atau pengambil alihan budaya, sehingga budaya lokal tergeser posisinya oleh kebudayaan baru. Terdapat beberapa faktor yang membuat budaya lokal tergeser posisinya oleh sistem budaya baru yang datangnya dari luar. Pertama, minimnya pendidikan dan pengetahuan mengenai budaya lokal. Kedua. Minimnya pemeliharaan dan pelestarian budaya lokal. Dan ketiga, gencarnya ekspansi budaya baru untuk mendominasi dan menggeser budaya lokal setempat. ketiga faktor inilah yang menjadi penyebab kenapa budaya lokal dapat digeser oleh kebudayaan baru.

Ketika ketiga syarat dan faktor penyebab tersebut telah terpenuhi, maka ekspansi kebudayaanpun sudah dapat dilaksanakan, tinggal bagaimana sistem kebudayaan baru tersebut mengemas isu bagaimana sistem kebudayaan tersebut dapat masuk dan diterima oleh masyarakat setempat.

Globalisasi, dialah isu dan alat utama bagi sistem kebudayaan baru bisa masuk mendominasi dan dan menggeser kebudayaan setempat. Ditengah arus teknologi informasi yang semakin canggih, maka lengkaplah sudah bagi sistem budaya baru masuk untuk melancarkan aksi dan serangan-serangannya dalam berekspansi.

Pada tulisan pengantar telah disinggung mengenai kepentingan-kepentingan sebuah budaya masuk, dan terbukti dengan jelas bahwa masuknya sebuah sistem budaya memang membawa kepentingan, baik itu sefatnya ekonomis maupun politis. Demikian juga halnya dengan Globalisasi, dengan rapihnya mereka mengkemas kepentingan-kepentingan tersebut kedalam paket yang namanya globalisi, padahal yang menjadi target dan saaran utama adalah westrnisasi dan kroni-kroninya yang nota bene membawa misi pengakuan terhadap peradaban barat serta eksploitasi dan penghancuran sebuah bangsa.

Misi eksploitasi dan penghancuran tersebut dilakukan demi tercapainya sebuah kepentingan peradaban sehingga tidak ada yang menandingi dan melampaui kemajuan bangsa tersebut. Ketika sebuah bangsa lain maju maka eksistensi dia sebagai bangsa yang maju dan kuat akan terancam dan mungkin akan dikalahkan oleh bangsa lain yang lebih maju.

Ketika Barat dengan pojek eksploitasi dan pengusaan peradabannya dijalankan, maka salahsatu caranya adalah dengan penghancuran mental dan gempuran-gempuran kebudayaan yang nota bene membawa efek negatif terhadap perkembangan dan kemajuan bangsa tersebut. Maka dilancarkan misi hedonisme, kebebasan, life stile, glamor, dan lain sebagainya yang pada kenyataanya disalah artikan. Dari budaya-budaya tersebut akhirnya menimbulkan efek negatif terhadap produktifitas dan progresitas perkebangan bangsa ini.

Dari budaya-budaya yang disebutkan diatas lahirnya pola penghancuran baru, yaitu pornogerafi dan pornoaksi yang berujung pada seks bebas (free sex), dan memang khusus menghajar ranah mental, terutama mental kaum muda dan bahkan anak-anak yang nota bene adalah generasi penerus bangsa. Ketika generasi penerus telah berhasil diracuni dan dihancurkan mentalnya maka dapat dipastikan bahwa keberlangsungan bangsa tersebut akan suram minimalnya mandeg dan tidak berkembang, dan ketika kondisi ini telah tercapai maka mudahlah bagi mereka untuk mengeksploitasi dan menghancurkan bangsa ini.

Untuk melancarkan misi tersebut maka diciptakanlah berbagai macam perangkat alat untuk memfasilitasi aksi pornografi dan pornoaksi, diantaranya adalah media baik media cetak maupun elektronik, minuman keras, Club-club, dan gaya hidup yang memang diseting supaya orang tertarik untuk memilih dan mengikutinya. Katakan “Gaul dan Modern”, kata tersebut memang dibuat supaya orang tertarik dan mengikuti pola tersebut, seperti pakaian mini, ketat, sexsy, minum minuman keras sampai mabuk, dugem dan lain sebagainya, sehingga ketika orang tidak mengikuti gaya tersebut maka dia dikatakan tidak gaul atau ketinggalan jaman. Dan sekali saya katakan, pangsa pasar utamanya adalah kaum muda yang memang masih bermasalah dan haus akan eksistensi.

Memang sangat cerdas barat dalam mengkemas sebuah isu, mereka menyentuh hal-hal primer dari kebutuhan manusia, seperti eksistensi, seks, ekonomi dan lain sebagnya. Kasus pornograpi pun demikian, ketika sex merupakan kebutuhan dasar biologis manusia maka mereka masuk dan melancarkan aksinya, baik dengan media cetak seperti majalah majalah porno, buku-buku bacaan porno dan komik-komik porno, media elektronik seperti VCD dan DVD porno, situs-situs porno melalui internet dan media-media lain yang memang sarat dengan pornografi.

Sungguh mengerikan, karena serangan-serangan tersebut dilakukan hampir setiap hari, bertahap dan sistematis pula. Mereka menciptakan pintu-pintu dan kemungkinan-kemungkinan sepaya kita terjerumus dan sulit untuk keluar, mereka datang tidak melalui pintu, tapi mereka datang melalui hasrat yang ada didalam diri kita, mereka siap sedia ketika mereka dibutuhkan, bahkan mereka hadir ketika waktu-waktu luang kita, dan mereka juga selalu hadir dan berada di ruang pribadi kita.

Projek Penghancuran Mental

(Sebuah Perjalanan menapaki dunia hedon yang glamour)

Tujuan utamaku datang ke ibukota adalah untuk menimba ilmu di salah satu Perguruan tinggi swasta di jakarta, demikianlah kata seorang temanku (sebut saja namanya Deden) bertutur dalam ceritanya, namun ditengah perjalanan studyku aku seakan tergiring oleh arus yang memang terasa kuat, sehingga membuatku terhanyut dan terlena dibuatnya. Semester pertama dan kedua berjalan dengan normal, bahkan nilaiku cukup membanggakan, namun pada semester-semester selanjutnya aku mulai bersentuhan dengan dunia yang sama sekali baru aku kenal, dialah dunia malam, dunia yang syarat dengan kehidupan glamor, hura-hura, kesenangan dan tanpa aturan yang ada hanya aku, akulah atauran itu sendiri, bangun ketika aku ingin bangun, tidur ketika aku ngantuk dan merasa lelah. Semua itu aku lakukan atas kehendakku sendiri, tidak ada orang yang berani memerintah atau menyuhku, karna aku adalah pribadi yang merdeka, dan aku berhak menentukan apapun keinginanku dan aku akan melakukan apapun yang aku suka.

Hubunganku dengan teman-teman sejawatku cukup dibilang baik, mungkin karena aku yang mempunyai kepribadian yang mudah bergaul dan senang mendengarkan setip cerita dan keluh kesah teman-teman. Seiring berjalannya waktu, aku semakin akrab dengan teman-teman dan lingkungan sekitarku, sehabis kuliah aku dan teman-teman sering jalan-jalan, baik itu ke mall-mall, pusat-pusat perbelanjaan atau tempat-temapat wisata sekitar jakarta bahkan keluarkota sekalipun. Hal itu kami lakukan karena memang hendank berbelanja, jalan-jalan, menghilangkan kepenatan, atau bahkan hanya iseng saja, membunuh waktu dengan nongkrong, berbincang-bincang, sampai hanya berdiam diri dan bengong menikmati suasana tempat yang kami kunjungi, kepuncak, ancol, anyer bahkan keluar kota seperti ke Bandung, Yogyakarta, Bali dan banyak lagi tempat yang kami kunjungi bersama-sama.

Pertamakalinya akau mulai masuk dan meninjakan kaki pada dunia malam adalah karena dibawa (diajak) oleh teman-teman disekitarku, waktu itu kebetulan ada acara Campus Night di salahsatu club malam yang terletak di kawasan Gatot Subroto. Sebagian besar pengunjung pada acara tersebut nota bene adalah anak-anak kuliahan yang biasa disebut sebagai anak gaul. Akupun semakin tertantang dan bersemangat dengan kata tersebut (campus night), karena yang ada dalam benakku, aku akan bertemu dengan teman-teman sebaya dari berbagai kampus lain, dan aku pikir aku akan melebarkan sayap pertemananku secara luas, dan kebetulan pada malam itu, aku dengan teman-teman mendapatkan beberapa guest list- free entry, jadi aku bebas masuk tanpa dipungut biaya, dan ketika masuk aku cukup menyebutkan pasword yang telah diberikan sebagai tanda free pass. Aku pikir tempat tersebut cukup terbilang elit dan mewahl, pasti harga ticketnyapun mahal, minimalnya 100 sampai 200 ribu sekali masuk. Scurrity di sanapun cukup banyak dan rata-rata badannya besar-besar dengan muka yang cukup menyeramkan, mereka berada pada setiap sudut ruangan terutama dipintu masuk.

Karena pengalamanku yang kali pertama memasuki dunia malam (lingkungan baru), tentunya sikapku masih terasa kaku, ditengah kerumunan suasanan dan hiruk pikuk kegaduhan aku masih merasa asing, tapi pikirku, “nikmati saja”, dan kemudian aku mulai terbiasa dan mampu mencairkan suasana hati dan mulai masuk kedalam sikologis masa ditempat tersebut. Pada pembukaan acara sang DJ (disc jockee) mulai memainkan musik pembuka dengan lagu-lagu yang memicu dan menstimulus semua organ indra untuk bergerak. Suasana malam itu cukup panas karena hampir semua sisi ruang (baik yang duduk maupun berdiri) terisi oleh sesaknya manusia yang mulai terbawa dan terbius oleh lantunan musik. Sesudah DJ pertama selesai kemudian disambung dengan DJ berikutnya, pertunjungan ini ada sedikit berbeda karena selain sanga DJ memainkan musik, terdapat beberapa sosok wanita naik ke table yang ukurannya cukup tinggi yang terpasang di kanan, kiri dan tengah DJ, dengan lihainya para wanita tersebut yang biasa disebut dengan sexy dancer bergoyang dengan sexy dan sarat dengan erotisme[5] dan tentunya mengundang hasrat sexualitas kaum laki-laki. Lengkaplah sudah perangkat night club dan membuat suasana semakin “hot” juga menggairahkan mood setiap pengunjung yang datang.

Memang benar apa yang dikatakan orang, dunia malam sangat dekat dengan barang yang dikatakan haram. Terlihat dimeja-meja terdapat minuman keras dari berbagai macam jenis dan merek bergeletakan, ada juga yang ditenteng-tenteng dengan tangan sambil bergoyang dan berjingkrang-jingkrakan. Aku mulai mengamati setiap sudut ruang, baik dari settingan ruangan yang memang disett mendukung suasana, pakaian para pengunjung yang rapih, gaul dan sarat dengan model masa kini, modis dan sexy. Akupun cukup terheran apakah mereka[6] tidak merasa kedinginan dengan pakaian yang serba mini ? karena, AC pada ruangan itu sangat banyak dan cukup dingin, aku saja yang berpakaian dooble (t-shert dan kemeja) masih merasa kedinginan. Tapi akhirnya aku paham, karena seminim apapun pakaian mereka tetap saja tidak akan merasa kedinginan karena gerakan yang dilakukan memang mengundang untuk berkeringat, ditambah lagi dengan minuman beralkohol yang memang membuat hangat dibadan ketika diminum, ditambah lagi dengan berjubelnya pengunjung yang membuat sesak ruangan. Karena saking panasnya suhu pada ruangan tersebut, tak jarang dari mereka membuka pakainya untuk menghilangkan panas yang mereka rasakan.

Semua orang yang berada pada tempat sersebut seakan di sirep[7], mereka menari, tertawa dan bergerak sesuai dengan gerakan yang mereka inginkan, tak jarang pula mereka ribut gara-gara menyenggol atau menabrak pengunjung lain yang tidak mereka kenal. Mungkn disinilah tugasnya securrity, mereka harus sigap menghadapi setiap kejadian yang mengarah pada kegaduhan dan kerusuhan. Setiap pengunjung hadir dalam dunia mereka sendiri, secara lahiriyah mungkin mereka ada pada tempat yang sama, tapi seacara kesadanran mereka berada ditempat lain dimana mereka menginginkan dan membayangkannya. Inilah ekstase instan, dimana kesenangan dan kebahagiaan berada pada setiap individu dan sampailah mereka pada dunia dan menju tuhan[8]-nya masing-masing. Nuansa tersebut tidak akan berhenti samapi saatnya ketika DJ berhenti memainkan musik dan diganti dengan music recorder, lampu dinyalakan dan para pengunjung bubar berhamburan dan kembali kepada habitatnya masing-masing.

Inilah kali pertamaku masuk kedalam dunia malam, dan untuk waktu selanutnya sampai saat ini aku masih menjalaninya. Banyak tempat yang sempat aku kunjungi, baik dalam kota maupun luar kota, dan akhirnya aku dapat menyimpulkan, kegiatan dan kehidupan night club dimana-mana sama yaitu ekstase instan, mengejar kesenangan dan kebebasan[9] yang sifatnya relis materialis.

Demikianlah sekelumit kisah, bagaimana seseorang dapat terjerumus kedalam kehidupan malam yang syarat dengan nuansa erotisme dan mengarah pada pornogerafi dan pornoaksi. Dari kisah diatas, kasus dunia malah bukanlah sebuah gerbang untuk menuju pornogerafi dan pornoaksi, tapi, kehidupan malam merupakan pintu kelanjutan dari pintu-pintu sebelumnya, yaitu Televisi dengan tontonan yang mengarah pada pornogerafi, VCD, DVD, internet dan banyak lagi media yang dijadikan ajang doktrinasi secara tidak langsung yang kemudian tersimpan dalam memory otak kita, dan lama-kelamaan akan terus membukit dan meluap.

Disinalah letak dimana sistem nilai dan norma sudah tercerabut dari akar budaya kita. Ketercerabutan nilai tersebut terjadi tidak secara langsung tapi secara perlahan, sehingga kita tidak sempat menyadarinya, dan pada akhirnya kita terlena dan terbius oleh kultur budaya baru yang memang tidak memperhatikan bahkan tidak memperdulikan norma dan nilai. Keseronokan, porno, cabul dan lain sebaginya akhirnya menjadi konsumsi kaum muda generasi bangsa. Lantas apa yang harus kita lakukan, siapa yang patut untuk dipersalahkan ?

Pada permasalahan ini tidak ada yang patut dipermasalahkan, baik pihak keluarga sebagai pelindung awal, lingkungan dan negara. Yang pasti semua pihak harus berperan aktif dalam mengcounter arus budaya urban[10], akan tetapi yang seharusnya berperan aktif dan memiliki konsern lebih adalah pemerintah, karena memang permasalahan ini sangat erat kaitannya dengan ketahanan dan keberlangsungan bangsa. Isu tersebut syarat dengan kepentingan global dengan kolonialismenya.


Penutup

Proses penghancuran mental kaum muda sebagai generasi penerus bangsa, tidak akan terlepas dari kepentingan dan settingan global, terutama negara-negara maju yang nota bene hendak menancabkan fondasi-fondasi kekuasaannya diberbagai bangsa, termasuk indonesia, mengingat Negara Indonesia kaya dengan berbagai Sumber Daya Alam (SDA). Inilah yang seragan yang dilancarkan para neo kolonialis dan neo kapitalis, mereka dengan gencarnya masuk dan menyusup kesendi-sendi kebudayaan kita, dengan sistematis mereka mula menggerogoti identitas kebangsaaan kita, menggerogoti rasa nasionalisme kita dan kemudian menghancurkannya kita secara perlahan, bukan oleh mereka, tapi oleh diri kita sendiri.

Pornogerafi dan pornoaksi adalah salahsatu senjata yang mereka gunakan, majalah, komik, novel, TV, vcd, dvd, internet dan lain sebagainya merupakan media penghantar bagi mereka untuk masuk dan meracuni mental anak bangsa, sehingga mereka tidak mempunyai visi dan misi membangun bangsa pada waktu kedepan, dan berdaulat untuk waktu yang tidak terbatas.

Sebagai kata penutup dari tulisan singkat ini adalah identitas kebangsaaan adalah aharga mati bagi NKRI. Karena ketika identitas kebangsaaan sudah mulai luntur pada diri setiap individu anak bangsa, maka habislah kita, kita tidak mempunyai lagi tameng serta sebagai counter dari serangan budaya yang dilancarkan oleh bangsa kolonial yang berdampigan dengan para kapitalis.



[1] Nilai dan Norma yang dmaksud adalah adat istiadan (sopan santun dan etika) serta ajaran agama yang memang masih mengakar kuat pada masyarakat.

[2] Biduwanita dalam definisinya adalah seorang penyanyi perempuan.

[3] Budaya lama yang dimaksud adalah budaya lokal atau budaya yang menjadi warisan leluhur (local genius)

[4] Indonesia pernah mempelopori pergerakan dan kebangkita negara-negara di asia dan afrika

[5] Inilah suasana pornogerafi dan porno aksi pada dunia malam. Yang memang memicu hasrat sexualitas setiap individu yang berkunjung.

[6] Memang sebagian besar pengunjung perempuan memakai pakaian yang serba mini, bahkan sangat mini sehingga menyita dan menarik pandangan setiap laki-laki.

[7] Dalam bahasa Indonesia berarti dibius atau terbius

[8] Tuhan yang dimaksud dalam konteks ini adalah sesuatu yang dipertuhan, dipuja dan diidam-idamkan.

[9] Paradigma Masyarakat memaknai kebebasan pada umumnya adalah kebebasan seperti yang diceritakan diatas.

[10] Budaya apapun dan dari negara manapun yang masuk ke tanah Bumi Nusantara.